Judul asli: Merenung di pematang sawah yang telah kucangkuli seminggu ini...
Kuawali kisah ini dalam statusku 3 Januari 2011.
"kata guruku di sekolah dulu, energi yang dipakai untuk ujian itu sama dengan energi yang dipakai petani tuk mencangkul di sawah. Hari ini ada 2 ujian, berarti dua petak sawah kucangkuli, tapi satunya take home exam, berarti energinya sama dengan menjemur benih di halaman rumah. hmm... ^_* "
Hari itu adalah hari pertamaku mencangkul sawah, prosesnya tak begitu susah karena untuk sawah yang ini aku tak perlu menyiapkan energi yang terlalu besar. Asal ada hasrat untuk mengayunkan cangkul, sawah yang ini akan menghasilkan padi yang sempurna dimasa panen nanti.
Sayangnya, semakin hari sawah yang harus kucangkuli semakin keras saja tanahnya. Ditambah lagi dengan banyaknya godaan yang membuatku malas mengasah mata cangkulku. Hasilnya, di hari ketiga, ini dia rangkaian kalimat yang mengisi space statusku, Rabu 5 Januari 2011.
"Garapan sawah hari ini kurang baik. Selain karna memang tanahnya keras, cangkulku juga kurang tajam. Tapi, teteup...Harapan itu akan selalu ada. Semoga hasil panennya tetap memuaskan, Amien.."
Status itu benar-benar menggambarkan karakter asliku, damai dengan keadaan, hadapi dengan senyuman, dan dengan penuh keyakinan aku percaya, harapan itu selalu ada.
Hari ini, kamis 6 januari 2011, usahaku mencangkuli sawah terakhir benar-benar parah. Aku tahu, petak sawah yang ini adalah petak sawah yang sangat penting untuk masa depanku menjadi petani berjaya, tapi aku tak pernah mau tahu dengan cangkulku yang benar-benar sudah tumpul matanya. Selain itu aku juga lupa, sawah ini akan menguras banyak energiku yang mulai tak berdaya. Begitu banyak batu yang harus kuhindari saat mencangkul sawah ini. Dengan cangkul yang tumpul dan energi yang tak mengepul, kuayunkan cangkulku dengan terpaksa.
Sayang sekali, ayunan cangkulku mengenai sebuah batu. Ya Allah, cangkulku patah, memantul melukai wajahku. Untunglah, tak mengenai mata dan bibirku. Sehingga, Alhamdulillah aku masih bisa menatap dunia lewat jendela, dan tersenyum padanya. Aku tak langsung pulang ke rumah, kusempatkan diri untuk merenung di pematangnya sembari melihat rekan-rekan seperjuanganku mencangkuli sawah mereka.
Dalam renunganku, aku sesali kelalaianku yang tak perhatian pada cangkulku. Hanya saja, satu hal selalu menggerogoti pikiranku, kapankah sebuah penyesalan itu akan memberi semangat baru untukku? Orang bilang, menyesal kemudian tidak berguna. Bagiku, menyesal tanpa berubah, buang-buang waktu saja. Lalu, karna tak yakinnya aku dengan hasrat untuk berubah, aku pilih untuk tidak menyesal saja. Lets gone be by gone, yang lalu biarlah berlalu. Kucoba menghibur diri dengan pepatah itu tetapi kali ini pepatah itu tak bekerja. Suasana hatiku tetap merana. Merana karena luka di wajahku yang tak begitu indah dan merana memikirkan hasil panen sawah yang begitu berharga ini.
Sawah ini kawan, hasil panennya kan menentukan masa depanku dalam meraih cita tuk menjadi petani berjaya. Sempurnanya panenan sawah yang satu ini akan membuatku mantap untuk terus maju meraih cita. Keberhasilan hasil panen sawah ini juga kan memberiku peluang untuk mendapatkan sawah yang lebih besar untuk 6 bulan berikutnya. Ya Rahmaan... baguskanlah hasil panenku dimusim ini, Amien...
Dalam renunganku, tak kuat rasanya membendung air mata. Ingin sekali kutumpahkan suasana hati ini pada para sahabat di sana. Sayang, mereka juga harus berusaha mencangkul petak sawah yang mereka punya. Aku tak mungkin mengganggu waktu mereka yang berharga. Biarlah, kusimpan sedih di dalam hati, kubungkus duka di dalam jiwa.
Dalam perjalanan pulang, rerumputan membantuku menghilangkan lara. Ia katakan padaku, harapan itu selalu ada. Aku kembali sadar, aku tak hanya punya satu cita. Citaku tak hanya ingin menjadi petani berjaya. Aku punya segudang cita untuk ikut merenovasi dunia. Ku kan tetap berdoa dan tawakal agar tercapainya citaku menjadi petani berjaya, dan ku akan berusaha menggapai mimpi-mimpi selanjutnya dan mulai berkarya.
Setiba di rumah, kuputuskan untuk pergi ke kota untuk mengunjungi toko buku ternama. Kebetulan ada dua sahabat yang telah selesai menggarap sawah mereka, kami ke kota bersama. Kunjungan ini adalah bentuk rasa syukurku karna masih bisa memandang dunia lewat jendelanya dan sebagai cara tuk menyapu bersih jejak duka yang masih tersisa.
Subhanallah, Allah Maha Bijaksana. Di salah satu toko buku ternama, potongan harga sedang marak-maraknya. Tak kusia-siakan kesempatan ini. Aku ambil semua jendela dunia yang akan menerangi jalanku untuk menggapai mimpi selanjutnya.
Semoga semua mimpi dan cita-citaku bisa terwujud menjadi nyata,begitu juga denganmu kawan. Semoga kita semua sukses di dunia dan di kampung akhirat sana, Amien Ya Rabbal Alamin...
Innallaha ma'ana, sesungguhnya Allah selalu bersama kita.
Kawan, terima kasih sudah sudi membaca catatanku yang tak indah dan tak tertata ini. Aku bukan penulis ternama, tapi tak ada salahnya kan, membaca curahan hati seorang teman yang sedang merana? Jika kawan suka, terimakasih yang sebesar-besarnya. Jika kawan bersedia, aku menunggu kritik dan sarannya.
Salam ukhuwah berbalut cinta.
Yaumul Jumu'ah, 7 Januari 2011.
3. 48 am di wismaku tercinta.
Assalamu'alaikum,
BalasHapusPermisi, saya ingin menitipkan award di blog ini..
http://afifahamatullah.wordpress.com/2011/02/15/award-award/
Semoga membawa kebaikan..